Lenggar

Waktu kelas 4 SD, aku adalah seorang manusia yang tidak berdaya. 

Begini kisahku. 

Aku memakai sepeda Phoenix biru sebagai alat transportasi untuk berangkat dan pulang sekolah.

Ada 2 jalan yang bisa aku pilih untuk berangkat dan pulang sekolah, kita sebut saja jalan pertama dan jalan kedua. Jalan pertama adalah jalan yang lebih dekat. Sementara jalan kedua lebih jauh.

Jika aku memilih lewat jalan pertama, jarak tempuhnya 2 km. Tapi jika aku memilih lewat jalan kedua, jarak tempuhnya 3 km.

Well, bagi orang dewasa, tentu selisih 1 km tidaklah berarti. Tapi bagi seorang anak kelas 4 SD yang mengendarai sepeda, selisih 1 km itu lumayan. Setidaknya, dengan memilih lewat jalan pertama yang lebih dekat itu, aku menghemat tenaga.

Semula tidak ada masalah di jalan pertama. Aku melewati jalan itu setiap hari. 

Lama-lama, masalah mulai timbul. 

Suatu hari, ketika pulang sekolah, aku dicegat oleh seorang anak kecil laki-laki. Perkiraanku, dia lebih muda beberapa tahun di bawahku. Terlihat dari ukuran badannya yang masih kecil. 

Jadi, ketika aku lewat, dia yang sedang nongkrong di pinggir jalan, tiba-tiba menuju ke arahku, lalu dia mencengkeram bagian belakang boncengan sepedaku. Tentu saja aku pun berhenti saat itu juga, gak bisa mengayuh sepeda lagi. 

Aku lalu bertanya, apa maunya, apa salahku, dan kenapa dia mencegatku. Aku tidak mengenal anak laki-laki itu. Perilakunya yang tiba-tiba mencegatku itu sungguh aneh. 

Beberapa menit sudah aku berbicara dengan bocah itu. Tetap dia tidak menjelaskan apa maunya. Dia juga tidak mau melepaskan cengkeramannya. 

Aku bingung harus melakukan apa? Secara gitu, aku perempuan dan dia laki-laki, walaupun aku lebih tua, tapi kan gak mungkin aku ngajak dia berantem 😂 Yang ada aku bakalan bonyok duluan. 

Aku juga gak bisa memarahi dia. Walaupun aku terganggu oleh perbuatannya, tapi ketika itu aku gak bisa marah.

Hmmm, mungkin aku seharusnya teriak aja, ya. Meminta pertolongan dari penduduk sekitar. Tapi, kayaknya kalau pun aku teriak minta tolong, gak ada yang dengar. Karena, jam-jam segitu, kemungkinan orang-orang masih di tempat kerja, belum sampai rumah. Jadi, menurutku saat itu, teriak minta tolong adalah perbuatan sia-sia.

So, karena udah kehabisan ide harus berbuat apa, dan aku juga pengin segera sampai rumah, akhirnya... 

Sisa uang jajan hari itu aku kasih ke bocah tersebut. 

Sebetulnya, dari awal aku udah punya feeling, kayaknya nih bocah tujuannya pengin malak 🤣 Tapi dia tidak berterus terang. Ya udah deh, biar urusan cepet kelar, langsung aja aku kasih sisa uang jajanku kepadanya. 

Lalu, apa yang terjadi? 

Dia menerima uang itu, dan mau melepaskan cengkeramannya. So, aku bisa kembali mengayuh sepeda untuk melanjutkan perjalanan pulang  😅 

Hari berganti hari. 

Aku masih selalu lewat jalan pertama---yang jarak tempuhnya lebih dekat itu---dan hampir selalu, bocah itu masih juga mencegatku. Dan aku juga masih tidak berdaya untuk melawannya. Setiap hari, aku harus menyisihkan uang jajan untuk kemudian aku serahkan ke bocah itu, tatkala dia mencegatku.

Di pikiranku saat itu, hanya itulah satu-satunya hal yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkan diri 😆 

Ini lebay sih, tapi serius, waktu itu, aku betul-betul tidak kuasa untuk melakukan perlawanan. 

Karena aku udah sebel tiap hari dicegat, aku pun menceritakan hal ini kepada ibuku dan teman-teman sekelasku. 

Teman-teman bilang, mereka mau membantuku. Aku pun senang, karena siapa tau, si bocah laki-laki itu bakalan takut kalau dikeroyok rame-rame. Maksudnya dikeroyok itu bukan dihajar secara fisik ya, tapi dikasih tau aja, supaya dia gak bertingkah seperti itu (mencegatku) lagi. 

So, di siang hari sepulang sekolah, aku bersama teman-teman menuju ke tempat biasa aku dicegat. 

Rencananya, teman-teman sembunyi dulu, kemudian aku lewat. Barulah jika bocah itu nantinya mencegatku, teman-temanku akan keluar dan kemudian "menyerang" bocah itu. Itu rencana kami.

Dan...
Alhamdulillah, semua yang kami rencanakan, berjalan lancar.

Teman-temanku sembunyi terlebih dahulu, aku lewat sendiri dengan menaiki sepeda. Dan, tepat seperti yang biasa terjadi, bocah itu muncul, lalu mencegatku. 

Apa yang selanjutnya terjadi? 

Teman-temanku keluar dari persembunyiannya. Kagetlah si bocah itu.

Tapi, sebelum teman-temanku "bertindak", tiba-tiba, ada seorang bapak yang berjalan menuju ke arah kami. Lalu bapak itu berkata, sambil memasang muka garang, dan telunjuknya menunjuk si bocah sambil berkata, "Heh, kamu jangan nakal! Kenapa kamu suka nyegat- nyegat? Awas ya, kalau kamu masih nakal, nanti aku laporkan ke bapakmu! Aku kenal bapakmu!" 

Olala, bapak itu bagaikan malaikat yang hadir di saat yang tepat.

Bapak itu adalah Pak Min. Aku mengenalnya. Beliau adalah seorang penjual mie ayam. Lokasi tempat jualannya tidak jauh dari tempat biasa aku dicegat bocah itu.

Tentu saja, bocah itu kaget. Biasanya dia bisa mencegatku dengan leluasa. Tapi, kali itu, dia syok melihat aku membawa "pasukan". Plus, dia juga kaget, karena tiba-tiba didamprat oleh Pak Min 😆. 

Mengenai kehadiran Pak Min ini, jujur saja, bahkan aku dan teman-teman juga kaget. Soalnya, sebelum memulai aksi ini, aku dan teman-teman tidak menemui Pak Min, dan tidak bilang apa-apa ke Pak Min. 

Terima kasih banyak Pak Min. Aku jadi terharu 🤧 

Setelah kejadian itu, aku bisa melewati jalan tersebut dengan aman sentosa. Tidak pernah dicegat lagi.

***

Beberapa hari kemudian, adalah hari Minggu. Aku ikut ibu membeli mie ayam, yang kebetulan sekali, belinya di warung Pak Min.

Di warung itu, kebetulan, ada bapak si bocah yang biasa mencegatku.

Bapak itu bercerita bahwa, anak laki-lakinya yang biasa nyegat aku itu bernama Lenggar. 

Lenggar baru duduk di bangku kelas 1 SD. 

Bayangkan, aku saat itu kelas 4 SD, dicegat oleh anak kelas 1 SD, dan aku tidak berdaya melawannya. 

Beliau sudah tau dari Pak Min---perihal Lenggar yang sering mencegatku. Beliau pun meminta maaf, jika kenakalan anaknya sudah mengganggu kenyamananku 😊 

Begitulah pengalamanku seputar cegat-mencegat. Untunglah ada teman-teman dan Pak Min yang sudah turut membantuku 🤗 

Seharusnya, dulu, ketika satu kali aku dicegat Lenggar, ya udah, lain kali gak usah lewat situ lagi. Lewat jalan lain aja. Biarin dah, lebih jauh 1 km. Yang penting selamet. Beres, kan?

Tapi, ketika itu, aku lebih memilih jalan yang jarak tempuhnya lebih dekat. Walaupun...dicegat Lenggar 😂 

Anehnya, ketika pertama kali dicegat, kok aku gak kapok, ya? Aku tetep lewat jalan itu. Padahal udah tau kalau ujung-ujungnya pasti dicegat lagi...dicegat lagi... 

Aku memilih jalan yang jarak tempuhnya lebih dekat itu dengan alasan untuk "menghemat" tenaga. 

Tapi kenyataannya, malah lebih "boros". Terutama, aku harus mengorbankan sisa uang jajan, untuk "menyogok" Lenggar, agar dia melepaskan cengkeramannya dari boncengan sepedaku, sehingga aku bisa lanjut mengayuh sepeda untuk pulang ke rumah 😆 

Itulah aku dulu. Ada pilihan yang gampang, malah pilih yang susah.

Kalau kamu sendiri bagaimana? Pernahkah kamu dicegat ketika pulang sekolah? Atau jangan-jangan, justru kamulah pelakunya, yang biasa nyegat anak-anak lain? Ceritakan pengalamanmu di kolom komentar, ya. 

Komentar

  1. Anak kelas empat SD dicegat dan dipalak oleh anak kelas satu SD, kalo sekarang mungkin bisa jadi meme.😂😂😂

    Kalo dipalak sepertinya aku belum pernah, tapi malak juga sepertinya tidak pernah. Eh kecuali malak emak sendiri minta jajan buat beli kelereng atau layangan.🤣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah iya itu meme-able banget mas agus 😁. Wah, kalo minta duit ke emak itu dihitung sebagai "malak", semua anak adalah pelaku dong mas agus 😅

      Hapus
  2. Ya ampun Lenggar, semoga sekarang tumbuh jadi anak baik yaaah nggak nakal 😂 Ini nanti si Lenggar kalau Googling namanya jangan-jangan terdampar di blog mba Sekar 🤣 Wk.

    By the way, saya nggak pernah punya pengalaman dicegat saat pulang sekolah mba, soalnya jarak rumah saya dari sekolah juga lumayan dekat terus saya setiap pulang tuh pasti bergerombol gitu sama teman-teman yang sekomplek, mungkin karena itu aman 🙈

    Tapi saya bisa paham kenapa mba Sekar memilih jalan seperti itu, I mean tetap pilih jalan terdekat meski lebih boros karena harus kasih uang ke Lenggar, karena bisa jadi, itu jauh lebih mudah daripada harus mengayuh sepeda 3km jauhnya 😁 Maybe secara nggak langsung, hati dan pikiran mba Sekar sudah melakukan kalkulasi secara matang 😂 *asal* *dijitak*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lenggar sekarang udah gede mba. Udah jadi pemuda gagah 😆 Entahlah mungkin dia udah lupa perihal kenakalannya dulu.
      Yups. Bergerombol emang paling aman, mba. Bocah2 yg dasarnya nakal, beraninya malak kalo kita sendiri. Kalo kita bareng2, gak berani dia, langsung kicep 😂

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Semua Foto Akan Terlihat Jadul pada Waktunya