QLC

Quarter Life Crisis (QLC) adalah sebuah keadaan sulit yang biasanya menimpa anak muda usia 20-an. Anak muda yang sedang mengalami QLC merasa galau akan kehidupannya. Mereka seperti kehilangan arah. Bingung harus melakukan apa. Bimbang harus melangkah ke mana. Dan takut kalau harus menghadapi kegagalan.

Memangnya galau, bingung, bimbang, dan takut dalam hal apa?

Dalam menatap masa depan.

Dan aku—bisa dibilang—adalah salah satunya. Ya, sudah setahunan ini, aku merasakan QLC. Setahun lalu, saat baru awal-awal mengalami QLC, aku benar-benar galau, bingung, bimbang, dan takut dalam menatap masa depan.

Sekarang sudah mendingan. Sudah agak adem. Sudah tidak se-galau, se-bingung, se-bimbang, dan se-takut itu lagi.

QLC juga telah mengubah pandanganku akan suatu hal. Dulu, sebelum dihantam QLC, aku kira hidup ini gampang. Semenjak mengalami QLC, aku baru sadar, bahwa hidup ini keras.

Dulu, kalau melihat kehidupan artis, influencer, dan penyanyi, aku mengatakan, “Enak ya jadi mereka. Hidupnya santai. Bisa melakukan apa pun sesuka hati. Nggak dituntut ini itu. Nggak perlu belajar. Pasti mereka bahagia karena bekerja sesuai hobi.”

Sekarang, ketika melihat artis yang sedang dada-dada di televisi, aku membatin, “Itu mereka dada-dada begitu, dalam rangka bekerja, lho. Walaupun sebenarnya mereka lagi sedih, mereka tetap harus ceria di depan kamera.”

Sekarang, ketika melihat influencer yang sedang di-endorse, aku membatin, “Itu mereka shoot video cantik begitu, juga dalam rangka bekerja. Pasti gak gampang jadi mereka. Gak gampang untuk shoot video, memilih angle yang bagus, belum lagi editing-nya.”

Sekarang, ketika melihat penyanyi yang sedang manggung, aku membatin, “Bayangkan, mereka sudah membawakan lagu yang sama secara berulang-ulang, ratusan, bahkan ribuan kali. Walaupun mungkin mereka sudah bosan, tapi mereka tetap harus menyanyikan lagu itu dengan sebagus-bagusnya.”

Kemarin, waktu buka Youtube, tiba-tiba aku teringat lagu Gomen Ne Summer JKT 48 yang dibawakan oleh Generasi 1. Aku bukan fans mereka. Tapi, entah kenapa, kemarin lagu tersebut terlintas di kepalaku begitu saja.

Aku pun membuka video ketika mereka sedang membawakan lagu itu. Dan, yang ada di pikiranku bukan tentang betapa cantiknya wajah mereka, betapa banyaknya fans mereka, atau betapa enaknya hidup mereka.

Tapi, yang ada dipikiranku adalah, “Itu mereka menyanyi, sambil nge-dance dengan enerjik, dan sambil tersenyum manis, itu dalam rangka bekerja, lho. Gila, mereka, di usia yang masih semuda itu, sudah harus bekerja seprofesional mungkin.”

Aku baru sadar, bahwa siapa pun itu, dan apa pun profesinya, tidak bisa lepas dari kewajiban: belajar, mematuhi aturan, dan memenuhi tuntutan.

Artis, influencer, penyanyi—termasuk JKT 48 pun—tetap harus belajar, tetap diatur-atur agar begini begunu, dan tetap dituntut untuk harus begene begono.

Ah. Di saat mengalami QLC ini, setiap melihat seseorang, siapa pun itu, aku turut merasakan dan menghayati, betapa tidak mudahnya menjadi dia.

Komentar

  1. Hidup menjadi keras atau biasa saja tergantung kita yang menyikapinya, mungkin kita bilang hidup ini keras tapi bagi orang lain biasa saja begitu pula sebaliknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iye juga ye kang 😅. Bisa jadi, orang yang saya "kasihani" itu sebetulnya biasa aja. Saya nya aja yg mellow 😭🤧

      Hapus
  2. QLC ini memang bisa membuat kita galau segalau-galaunya mba 😆 Hehehe.

    Waktu saya usia 20'an belum ada or belum terkenal mungkin ya istilah QLC, namun saya pernah ada fase dimana saya galau sama masa depan saya, apa pilihan hidup saya sudah tepat, apa jalannya sudah benar, endeblabla. Untungnya, dan menurut saya ini salah satu yang berperan penting bagi saya menghadapi QLC adalah support dari sekitar 🙈

    Punya supporting system yang bagus bisa membantu kita survive dalam menjalani hidup kita, dan semoga mba Sekar memiliki supporting system yang sesuai dengan mba yah, plus semoga mba Sekar bisa melewati fase QLC sampai tuntas dengan terus berjuang dan nggak menyerah 🥳

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huhuhu betul mb Eno. QLC itu berat. Saya jadi mempertanyakan ini dan itu. Lingkungan sekitar saya termasuk mensupport dan menguatkan saya sih, tapi tetep aja rasa galau itu muncul sesekali. Semenjak QLC saya jadi mellow banget nget nget nget 😭😭😭

      Hapus
  3. Fase itu memang bikin hati gundah gulana ya.. aku ya pernah, mungkin skrang juga masih. Tapi karena sudah terbiasa jadi ketika pikiran itu muncul nggak smpe bikin galau2 amat. Hahah 😅

    Ya, setiap orang pasti memiliki kekhawatirannya masing2 sih.. tapi tak apa. Namanya juga hidup. Ya kan? Yang penting nggak terlalu over dalam menyikapi suatu masalah or kejadian.. hehe 😁

    Semangat untuk kita semua...

    BalasHapus
  4. aku pernah banget berada diposisi kayak gini, kadang melihat "rumput tetangga terlihat lebih ijo" emang bikin gimana gitu ya
    padahal kita sendiri nggak tau gimana perjuangan mereka

    aku kayaknya labil itu waktu nentuin pilihan kuliah di fakultas apaan, dulu mau daftar kedokteran, karena takut ga keterima, tapi malah nulis fakultas hukum dan keterima.
    dan kalau diingat ingat jadinya kayak nyesel gimana gitu, tapi masalahnya mau diulang lagi juga ga mungkin. Kalaupun nulis pilihan kedokteran juga belum tentu diterima juga. bingung hahaha

    BalasHapus
  5. He'eh...seringkali kita tuh gampang banget ngebanding2in hidup orang lain yang looks great tapi lupa di balik ke-great-an itu ada effort luar biasa untuk bisa ada di sana dan terlebih lagi mempertahankannya.

    Mungkin next time ketika terpukau dengan hidup orang lain, dicari tau sekalian effort mereka seperti apa sih di balik itu semua.

    How about that 😊

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Semua Foto Akan Terlihat Jadul pada Waktunya