Problematika Sampah Plastik

Yang akan aku tulis di postingan blog kali ini adalah perihal plastik, lebih tepatnya plastik sekali pakai.

Ketika membeli soto di warung makan, dan kita ingin memakannya di rumah saja, benda apakah yang dibutuhkan? 

Tentu plastik. Gak cuma satu, tapi dua plastik. Pertama, plastik bening---di bagian dalam---untuk membungkus soto. Kedua, plastik kresek---di bagian luar---untuk memudahkan kita membawanya.

Ketika di tengah perjalanan, udara panas, dan rasa haus melanda, refleks kita ingin mampir sejenak di Alfamart. Kita pun mencari air mineral dingin. Benda apakah yang membungkus air mineral itu---sehingga dapat dengan mudah kita bawa, lalu kita minum? 

Betul. Botol plastik

Sebegitu besar manfaat plastik, sehingga dari waktu ke waktu plastik terus diproduksi. 

Bahkan, mungkin, semakin ke sini, jumlah produksi plastik semakin meningkat. 

Tapi nih ya, untuk plastik sekali pakai kan cuma dipakai satu kali, habis itu dibuang *ya iyalah, anak TK juga tau 😂 

Nah, kemudian jadi apa? 

Yak betul sekali. Jadi sampah.

Nah, apakah sejauh ini (khususnya di Indonesia), tingginya angka produksi dan penggunaan plastik sekali pakai sudah diikuti pengelolaan sampah plastik yang tepat? 

Hmmm, sepertinya belum terlalu, ya.

Sekarang ini, bahkan di desa-desa aja, orang mulai kesulitan membuang sampah---terutama sampah plastik. 

Menurutku, zaman sekarang, masalahnya itu tidak hanya seputar "orang-orang tidak membuang sampah di tong sampah". 

Ada masalah yang tidak kalah krusial dari itu. Yaitu, "setelah dibuang di tong sampah, terus sampahnya dibuang ke mana?" 

Harusnya, setelah dibuang di tong sampah, terus dioper ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara), and then dioper ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Kan idealnya begitcu.

Nah, tapi, menurutku, eh, bukan cuma menurutku sih, menurut data juga, bahwa jumlah TPA di Indonesia ini masih kurang. 

Hanya ada 400-an TPA se-Indonesia. Itu pun hanya beberapa puluh saja yang beroperasi maksimal. Itu pun hampir semuanya sudah kelebihan muatan a.k.a. kepenuhan sampah. 

Orang-orang or keluarga zaman sekarang itu mostly udah punya tong sampah sendiri-sendiri, dan mostly juga udah pada membuang sampah ke tong sampah kok, tapi masalahnya, setelah dari tong sampah terus dikemanakan itu sampahnya? 

Kalau warga masyarakat disuruh inisiatif membuat tempat pembuangan sampah sendiri, kok kayaknya gak segampang itu ya. Tetep harus diorganisir dari atas sana. Baru bisa jalan.

Ada sih desa atau kelurahan yang punya tempat pembuangan sendiri. Tapi kan yang boleh buang sampah di situ cuma warga situ. Warga desa/kelurahan lain gak boleh. 

Lha terus, warga desa/kelurahan lain buang sampah di mana? 
Yah, inilah masalahnya.  

Zaman sekarang ini, orang-orang yang tinggal di desa aja mulai kesulitan membuang sampah.

Iyalah. Kalau zaman kakek nenek kita dulu, persoalan pembuangan sampah belum serumit sekarang. 

Wong zaman dulu, tanah pekarangan luas-luas. Setiap keluarga bisa buang sampah di pekarangannya masing-masing. Dan, zaman dulu, sampah plastik belum sebanyak sekarang. 

Zaman kakek nenek kita dulu, beli makan di luar itu bungkusnya bukan plastik, tapi daun pisang atau daun jati. 

Bahkan nih ya, zaman ibuku kecil dulu, katanya, kalau mau beli es, misalnya es teh, itu cuma bisa diminum di tempat penjual. Gak bisa dibungkus lalu dibawa pulang. Karena, zaman itu, bungkus berupa plastik belum sebanyak sekarang, bahkan belum ada.

Sedangkan zaman sekarang, tanah pada mepet-mepet, pekarangan juga mepet, mau buang sampah ke mana?

Zaman dulu, mayoritas sampah adalah sampah organik daun-daunan, yang bisa membusuk atau terurai dengan mudah. 

Sementara itu, zaman sekarang, mayoritas sampah bukanlah sampah daun-daunan, tapi sampah plastik-plastikan.

Zaman sekarang, yang jamak terjadi di masyarakat desa adalah, sampah-sampah plastik itu, setelah dari tong sampah, dibuang ke kebun milik orang lain, lalu dibakar di situ. 

Okelah kalau lahan itu masih berupa kebun, tapi, ntar kalau seiring berjalannya waktu, itu kebun dibangun jadi rumah gimana? 

Gak bisa buang sampah di situ lagi dong. Terus mau buang sampah di mana? 

Lagi pula, kalau si pemilik kebun tau bahwa kebunnya jadi tempat pembuangan sampah, apa gak marah? 

Mungkin, kalau masih satu atau dua orang aja yang buang sampah di kebunnya, dia ikhlas. 

Lha tapi kalau orang se-kelurahan pada berbondong-bondong buang sampah di kebun tersebut gimana? 

Kebun tersebut jadi tempat pembuangan sampah ilegal dong berarti. Gimana perasaan pemilik kebun?

Tapi ya gimana ya, serba salah. Karena memang di lingkungan tersebut belum ada tempat pembuangan sampah resmi, yaaa orang akan mencari daya upayanya sendiri.

***

Saking banyaknya sampah plastik, aku pun mencoba untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Yeah, masih sebatas mengurangi.

Misalnya, dengan cara, kalau belanja ke pasar tradisional bawa tas sendiri. By the way, aku suka ikut ibu belanja ke pasar tradisional. 

Nah, tapi ternyata, prakteknya gak segampang itu.

Setiap kali pedagang di pasar bersiap mengambil kantong kresek untuk barang belanjaanku, saat itu juga aku harus bilang, "Gak usah pakai kresek, Bu." 

Biasanya, saat itu juga, ekspresi wajah si pedagang langsung bingung, lalu tanya, "Lho kenapa? Terus gimana bawanya?" 

Dan, aku harus menjelaskan, "Saya udah bawa tas sendiri." 

Kalau cuma belanja di satu atau dua stand sih gak papa. 

Masalahnya, kalau aku belanjanya di beberapa stand---misal, pertama belanja di stand ikan bandeng, terus ke stand ikan teri, terus ke stand sayur, terus ke stand kelapa parut, terus ke stand jajanan, terus ke stand tahu tempe---dan di setiap stand harus melakukan percakapan yang sama seperti itu, lama-lama capek juga rasanya 🤣

Gimana ya. Ketika melakukan percakapan itu, rasanya gak gampang. Ada rasa segan ketika aku menolak pemberian kresek dari pedagang.

Yah, itulah salah satu tantangannya, kalau mau meminimalisir penggunaan plastik.

Kalau seandainya gak bawa tas belanja sendiri, untuk satu kali belanja di pasar tradisional, aku pernah ngitung, setidaknya butuh 7 kantong kresek. 

Padahal dalam seminggu paling gak 2 kali ke pasar. Itu kalau setahun, berapa banyak kantong kreseknya, ya kan.

***

Selain itu, kadang nih ya, waktu perjalanan pulang dari suatu tempat, ada kalanya, pengin mampir ke toko buat belanja. 

Tapi, ketika sampai kasir, aku baru sadar, kalau aku lupa bawa tas belanja. Alhasil, mau gak mau, harus minta kantong kresek, deh.

Ya begitulah, untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, prakteknya gak gampang. 

Mau gimana lagi. Selama ini, kita memang sudah sangat dimanjakan oleh plastik. Sampai-sampai, kalau gak ada plastik, kita kebingungan. 

***

Dan, terlepas dari itu semua, mengatur negara sebesar Indonesia juga pasti gak gampang. Yah, semoga pemerintah dan kita semua bisa bahu-membahu, dan menemukan solusi yang tepat terkait problematika sampah plastik di Indonesia ini 😊

Komentar

  1. Setuju mbak, aku yang tinggal di kampung juga susah untuk buang sampah.

    Kalo sampah plastik aku pisahkan sih, misalnya habis beli soto lalu sotonya di taruh di piring maka selanjutnya makan pakai nasi, biar kenyang biasanya nasinya nambah. Wahhh ueenaakkk tenan.

    Lho, kok malah bahas soto nya.😅

    Jadi setelah di taruh di piring maka plastik bungkusnya aku pisah di tempat sampah khusus plastik, disitu ada botol plastik juga. Sedangkan untuk sampah basah dan dedaunan gitu ada tempat sampah khusus.

    Kalo sampah plastiknya sudah banyak baru aku bakar.😄

    Tapi sayangnya banyak warga kampung lain yang tidak peduli, buang sampah sembarangan, sampah plastik pada numpuk di selokan atau sungai, jadinya kalo hujan deras ya rumahku kebanjiran.😟

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga tinggal di kampung mas.
      Iyaaa sejauh ini, untuk sampah plastik ya dibakar. Gak tau deh, kalau beberapa tahun ke depan, gak ada lahan buat bakar sampah plastik, terus gimana. Yah, semoga ada solusi atas masalah ini 😁

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Semua Foto Akan Terlihat Jadul pada Waktunya