Kok Kamu Udah Gedhe Banget, Sih?
Dulu, saya sering mendengar kalimat itu. Umumnya, yang ngomong begitu adalah orang yang usianya jauh lebih tua dari saya, misalnya om, tante, nenek, dan kakek. Kalimat itu biasanya ditujukan kepada saya, di acara keluarga, hajatan, dan lebaran. Mereka ngomong begitu kepada saya, setelah sekian lama tidak melihat saya, dan baru ketemu saya lagi pada hari itu.
Lambat laun, saya
mulai paham. Bahwa, keheranan orang-orang itu terjadi karena pangling. Bagaimana
tidak? Katakanlah, mereka itu kan, mengenal saya dari bayi baru lahir. Mereka masih
terbayang-bayang, bagaimana rupa saya ketika masih anak-anak. Setelah sekian
lama, saya sudah dewasa. Mereka takjub. Mereka heran, betapa cepat waktu
berlalu. Mereka tidak menyangka, saya sudah besar.
Dan, setelah menginjak
usia 20 tahunan, saya pun perlahan-lahan menjadi seperti orang-orang tua itu. Saya,
menjadi “pelaku” heran itu.
Berkali-kali saya
menyaksikan, orang yang usianya beberapa tahun di bawah saya, kini sudah
dewasa. Bahkan, secara fisik, badan mereka jauh lebih tinggi dan besar
dibandingkan saya.
Saya masih ingat,
dulu, mereka (yang lebih muda dari saya) itu masih TK. Ibaratnya, masih
ingusan. Lha kok, sekarang sudah gedhe banget, ya?
Bahkan, saya merasa
perkembangan mereka lebih pesat dari perkembangan saya. Mereka menyalip saya. Mereka
sudah bisa ini-itu. Sedangkan saya, masih begini-begini saja.
Rupanya begini rasanya
jadi orang tua. Takjub melihat perkembangan orang lain yang usianya lebih muda.
Dan, rasa takjub ini terjadi secara alami. Tidak dibuat-buat. Tidak dibesar-besarkan.
Tidak acting.
***
Saya suka iseng
membuka akun sosial media teman-teman lama. Mayoritas, mereka sudah berubah. Mungkin,
kalau ketemu mereka di jalan atau tempat umum, saya tidak akan mengenalinya
jika mereka tidak menyebutkan nama.
Di foto-foto sosial
media, wajah mereka sudah jauh berbeda. Dulu saat masih sekolah, wajah mereka
masih polos kekanak-kanakan dan fisiknya masih kecil mungil. Sementara itu,
sekarang, wajah mereka jauh lebih matang. Postur tubuh mereka lebih kekar, berisi,
dan berotot. Serta, tidak ada lagi aura kebocah-bocahannya. Kedewasaan, itulah
satu kata yang tepat mewakili.
***
Kedewasaan, ternyata
mempengaruhi pertemanan. Benar kata orang-orang, bahwa semakin dewasa, lingkup
pertemanan kita semakin menyempit.
Secara otomatis, kita
mengurangi bahkan memutus interaksi dengan kawan-kawan lama. Ini bukan karena
kita jahat atau egois. Melainkan, karena kita sudah berada pada setting lokasi
dan waktu yang berbeda. Lingkungan kita sudah berubah. Kita sudah tidak
berurusan lagi dengan kawan lama. Jadilah, orang yang dulu intens berhubungan
dengan kita, kini tergantikan dengan orang baru.
Saya masih ingat. Dulu,
saat TK hingga SD kelas 3, saya punya beberapa teman main di sekitar rumah. Bisa
dibilang, mereka dulu adalah sahabat saya. Di mana ada mereka, di situ ada
saya. Kami selalu bersama. Nyaris tak ada batasan di antara kami.
Kami sering mencari
buah asam yang jatuh dari pohon. Main pasaran, dokter-dokteran, dan
guru-guruan. Bahkan, maaf, Buang Air Besar (BAB) bersama di kali. Semua itu
kami lakukan bertahun-tahun lamanya.
Namun, kini, jika
seandainya tak sengaja bertemu, bagaimana reaksi kami?
Mungkin, kami saling
kikuk. Bingung mau bicara apa. Kalau pun ngomong, paling-paling, cuma basa-basi
formalitas.
Ada juga cerita
tentang pertemanan saya di masa SMP. Saya punya seorang kawan beda kelas tapi
masih satu sekolah. Hampir setiap hari, kami berangkat dan pulang sekolah
bareng. Dia sering memboncengkan saya naik sepeda. Namun, setelah lulus SMP,
dan kami bersekolah di SMA yang berbeda, kami putus kontak begitu saja.
Saya juga punya
beberapa teman dekat di SMA. Bisa dibilang, kami satu frekuensi. Kami sering
dengan sengaja memilih tempat duduk berdekatan. Selain itu, kami juga sering berada
dalam satu kelompok jika ada tugas. Namun, setelah lulus, kami semakin jarang
berkomunikasi. Setahun setelah lulus SMA, kami hanya berkirim pesan via WA
ketika ada acara buka bersama. Setelah itu, nyaris tak pernah lagi sekadar say
hai.
Begitu pula dengan
teman-teman KKN. Selama 50 hari kami berada di rumah yang sama. Makan bareng,
tidur bareng, ke kantor kelurahan bareng. Setelah KKN usai, kami tenggelam
dalam urusan masing-masing. Group chat KKN yang dulunya ramai, kini
sepi, tak ada lagi notofikasi masuk.
Kalau dilihat, pola
pertemanan itu hampir sama. Awalnya belum kenal. Lanjut kenalan. Lalu, semakin dekat.
Dan kemudian, menjauh perlahan-lahan. Akhirnya, kembali ke kondisi awal, yakni
tidak saling kenal. Dari yang tidak kenal menjadi tidak kenal lagi.
Entahlah. Mungkin,
saya saja yang tidak pandai menjaga pertemanan. Bisa jadi, saya memang tipe
orang yang tidak telaten memelihara ikatan persahabatan. Mungkin juga, saya
tidak rajin update informasi terkait siapa saja yang ganti nomor handphone.
Jadilah akibatnya, saya lost contact dengan kawan-kawan begitu saja.
Mungkin, ini juga
gara-gara saya jarang ikut reuni. Berapa kali saya ikut reuni sekolah itu bisa
dihitung jari. Saya hanya hadir reuni saat acara buka bersama (buber). Bukannya
apa-apa, saya memang tidak terlalu suka keluar rumah. Padahal sekalinya ikut
buber, saya sangat menikmatinya. Ngobrol ngalor-ngidul berjam-jam pun
di-jabanin.
***
Walaupun dari luar terkesan
cuek, sesungguhnya saya memikirkan orang-orang yang saya kenal. Saya sering
tiba-tiba kepikiran, “Temanku si itu, sekarang kondisinya gimana, ya? Kayak apa
ya, dia sekarang?”
Mungkin, banyak orang
yang mengira saya seperti sengaja menghilangkan diri, menarik diri dari
pergaulan, sebab tidak terlalu aktif di sosial media. Tapi, sebenarnya, saya
masih menggunakannya. Hanya saja, semua status dan foto lama saya hapus. Dan,
saya tidak pernah lagi update story, status, foto, atau pun video. Sesungguhnya,
saya mengamati perkembangan teman-teman, atau siapa pun yang ada di friend
list saya. Hanya saja, saya lebih memilih diam sambil melihatnya dari jauh.
Kembali lagi ke judul.
Bagi saya, pertanyaan, “Kok kamu udah gedhe banget, sih?”, itu maknanya
luas.
Gedhe yang dimaksud bukan hanya fisik bertambah
besar. Tapi, kepribadian yang sudah berubah drastis. Perubahan fisik yang menjadi
lebih matang merupakan tanda bahwa orang-orang itu sudah melalui banyak
peristiwa dalam hidupnya. Kejadian hidup mereka terus bergulir. Dan saya,
menjadi saksi atas perjalanan mereka dari waktu ke waktu.
Walaupun hanya melalui
media sosial, saya sudah menyaksikan banyak hal. Orang-orang yang saya kenal
telah berkembang sedemikian rupa.
Ada yang baru saja diwisuda. Ada yang menikah menggunakan pakaian adat. Ada yang mengajak anaknya piknik di objek wisata. Ada yang sudah memakai seragam polisi ketatnya dan memperjelas body atletisnya.
Dan masih banyak lagi. Saya memang tidak memencet tombol like. Saya juga tidak ikut mengisi kolom komentar. Tapi, saya selalu menyaksikannya. Dan, lagi-lagi, saya hanya bisa berdecak kagum sambil membatin, “Kok kamu udah gedhe banget, sih?”
Sama kalo gtu mah :D
BalasHapusAku juga dulu ya sering di bilang gtu, dan sekarang aku yg ngucapin kaya gtu haha lucu si tapi ya mungkin sudah jadi bagian dari perputaran alam,
Aku juga awalnya mikir gara-gara aku yang salah karna teman gak awet alias gak bertahan lama, kaya teman sd teman pesantren sekarang dah kaya gak kenal, tapi setelah aku pikir itu bukan gara-gara aku tapi emang sudah taqdir dan memang seperti ini lah perseimbangan dunia & perputaran alam hehe