Menjadi Seorang Tante
“Ih, kayak tante-tante,” adalah kalimat yang sering diucapkan orang untuk menggambarkan remaja perempuan yang dandan menor. Kenapa dandan menor diidentikkan dengan tante-tante? Padahal, tidak semua tante menor, lho.
Hal ini juga pernah saya lakukan. Ketika masih kecil, jika mendengar kata “tante”, maka yang terbayang di benak saya adalah perempuan yang sudah agak berumur, suka bergosip, suka nyinyir, dan ber-make up tebal.
Sampai suatu ketika, saya menjadi tante, di usia 21 tahun. Ini terjadi setahun lalu, tepatnya saat keponakan pertama saya, alias anak dari kakak saya, lahir di dunia.
Selama keponakan saya itu masih di dalam kandungan ibunya, saya sering bertanya-tanya. Mulai dari pertanyaan standar seperti, “Muka dia mirip siapa, ya? Jenis kelaminnya apa, ya?” Hingga pertanyaan nyeleneh seperti, “Kalau aku besok jadi tante, rasanya gimana, ya?”
Gimana rasanya menjadi seorang tante?, adalah pertanyaan yang terus membayangi pikiran saya.
***
Lahirnya seorang bayi akan mengganti status 1000 orang di sekitarnya. Bagaimana tidak? Yang dulunya dipanggil kakak, berubah jadi dipanggil paman atau bibi, bapak berubah jadi kakek, ibu berubah jadi nenek. Dan saya, yang dulunya dipanggil adik karena anak bungsu, berubah menjadi tante.
Rupanya setelah berganti status menjadi tante, tidak ada perubahan yang saya rasakan. Jadi, terjawab sudah pertanyaan saya dulu mengenai bagaimana rasanya menjadi seorang tante, yaitu tidak ada rasanya.
Kadang, saya masih tidak menyangka bahwa saat ini, sudah ada perubahan generasi. Dulu, saya adalah anggota keluarga yang paling muda. Tapi, setelah munculnya seorang keponakan, dialah yang menggantikan posisi saya sebagai anggota keluarga termuda.
Suatu saat, pastinya, tanpa terasa saya juga akan menjadi nenek. Bahkan, kalau masih diberi umur, saya akan naik 1 tingkat, manjadi nenek buyut.
***
Selain tante yang melekat dengan image menor, ada juga status janda yang sering dijadikan bahan lelucon. Banyak orang yang tertawa ketika mengucapkan kata "janda", mereka bercerita dengan terbahak-bahak.
Saya heran, memangnya ada apa sih dengan status janda?
Bukankah definisi janda adalah seorang perempuan yang sudah pernah menikah dan sudah tidak bersuami?
Lalu, di mana lucunya?
Mengenai penyebab seorang perempuan menjadi janda, kan, bermacam-macam. Bisa jadi karena suaminya meninggal. Jadi, penyebab seorang perempuan menjadi janda itu tidak selalu negatif, kan?
Memang berumah tangga itu ada risikonya, kan?
Kalau kita pikir dengan jernih, orang yang menikah itu ujung-ujungnya pasti berpisah. Kalau tidak pisah hidup, ya, pisah mati. Untuk masalah pisah hidup, tidak perlu kita bahas di sini. Untuk pisah mati, sebagian besar pasangan, itu ada yang meninggalkan dan ditinggalkan, kan? Oke, ada sih yang meninggalnya bersamaan, tapi kan jarang.
Jika yang meninggal terlebih dulu itu istri, maka suaminya akan menjadi duda. Dan, jika suami yang meninggal duluan, maka si istri akan menjadi janda.
Jadi, besar kemungkinan, suatu saat, kita akan menjadi janda atau duda. Kemungkinan besar.
So, kenapa status janda sering ditertawakan, bahkan lebih parahnya, dipandang sebelah mata?
Hemm baiklah, anggap saja orang yang tertawa saat menyebut kata "janda" itu niatnya hanya bercanda. Tidak lebih dari itu.
***
Sekali lagi, tante dan janda memiliki image tertentu, yang entah sejak kapan disematkan padanya.
Mengenai image, kita pasti sering termakan omongan orang. "Eh, si itu orangnya blablabla," tidak jarang kita dengar di kehidupan sehari-hari. Dan kita, akan punya prasangka tertentu. Padahal, kita belum mengenal lebih jauh orang yang dibicarakan itu.
Saat kuliah, sering kita dengar perkataan teman atau kakak tingkat yang seperti ini, "Eh, hati-hati, dosen yang mengajar mata kuliah X itu pelit nilai, loh." Atau, kata-kata lain yang juga mujarab membuat kita negative thinking adalah, "Eh, dosen yang itu orangnya kiler, loh"
Apakah semua itu benar?
Menurut pengalaman saya, omongan orang yang seperti itu belum tentu benar. Seringkali, omongan tentang dosen pelit nilai atau kiler hanyalah asumsi pribadi yang digembar-gemborkan.
Menurut saya, sebaiknya, kita memperlakukan omongan tersebut sebagai pengingat saja. Kalau ada kabar bahwa dosen yang mengajar kita itu pelit nilai atau kiler, ya, artinya kita harus waspada. Misalnya, dengan cara belajar yang bener. Sudah, sampai di situ saja. Tidak perlu memperlakukan omongan orang lain sebagai teror menakutkan. Sebab, kalau kita ketakutan, bisa jadi omongan orang itu malah menjelma jadi kenyataan.
***
Manusia dan negative thinking adalah 2 hal yang tak dapat dipisahkan. Bahkan, saya sering sengaja negative thinking. Saya sering berusaha membayangkan hal terburuk apa yang mungkin terjadi. Saya sepertinya sudah kecanduan negative thinking.
Ya, gimana, ya? Negative thinking itu jadi salah satu cara yang saya lakukan agar tidak kaget kalau ketemu hal yang tidak mengenakkan. Pastinya dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dong, ketemu hal yang tidak mengenakkan.
Dan, negative thinking adalah cara saya untuk membiasakan diri memikirkan skenario terburuk. Misalnya, saat kuliah disuruh presentasi di depan kelas. Sebelum presentasi, saya udah negative thinking duluan, tuh.
Saya bilang begini ke diri sendiri, "Pasti nanti waktu presentasi, ada aja pertanyaan yang out of the box, terus aku bakalan kelabakan dan kebingungan gimana jawabnya."
Ketika apa yang saya bayangkan itu jadi kenyataan, saya gak heran. Karena, memang sudah saya prediksi bakalan terjadi.
Dengan ber-negative thinking, kadang, saya jadi mempersiapkan diri secara lebih matang. Tapi, tidak jarang, saya jadi terlalu waswas.
Belum apa-apa, sudah membayangkan ini itu yang mengerikan. Alih-alih ingin mempersiapkan diri dengan lebih matang, negative thinking kadang justru membuat saya insecure.
***
Ngomong-ngomong soal insecure, pasti kita semua pernah merasakannya. Bohong kalau bilang gak pernah. Entah kenapa, setahun belakangan, mulai banyak orang yang berani menceritakan insecurity yang dirasakannya. Orang zaman sekarang lebih terbuka untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan.
Saya sendiri masih sering insecure sampai detik ini. Saya masih bingung. Sebenarnya, saya ini punya bakat atau tidak, sih? Kok, rasa-rasanya, saya biasa-biasa saja di semua hal. Oke, banyak orang yang bilang kalau bakat itu tidak terlalu penting. Yang lebih penting adalah kerja keras. Tapi, tetap saja, sebagai manusia biasa, saya penasaran, sebenarnya saya punya bakat atau tidak.
Akhir-akhir ini, saya mengisi waktu dengan menulis di blog. Tapi, saya merasa tidak punya bakat di bidang kepenulisan.
Kalau saya lagi positive thinking, saya bakalan mikir, "Gak apa-apa, kalau mau nulis ya nulis aja."
Tapi, kalau saya lagi negative thinking, saya bakalan bilang ke diri sendiri, "Yakin gak apa-apa? Alah, kalau kamu gak berbakat mah, sampai kapan pun tulisanmu bakal gitu-gitu aja."
***
Oke saya sudah ngalor-ngidul gak jelas. Kembali ke judul.
Menjadi seorang tante, artinya saya sudah dituakan. Tidak lagi dianggap sebagai "anak". Memang, saya termasuk tante-tante yang masih muda.
Tapi, ada banyak tante yang jauh lebih muda dari saya. Ada kan, tante yang masih SD? Tentu ada banyak, dong.
So, mengenai image negatif yang sering melekat di seorang tante itu tidak 100% benar. Tergantung, tante yang seperti apa dulu, kan? Sebab, di luar sana, ada tante yang masih SD. Menggeneralisir tante-tante berarti kita mengikutsertakan tante-tante yang masih SD itu. Padahal, mereka tidak tahu apa-apa.
Tapi, saya sendiri masih sering keceplosan. Jadi, suatu hari, saya pernah bilang begini ke kakak ipar, "Aku gak mau pake lipstik warna merah, ah. Entar kayak tante-tante lagi..."
Sesaat setelah bilang begitu, saya langsung sadar, "Lho, aku kan emang udah jadi tante."
Jadi, kalau lain kali, saya masih ikut-ikutan menertawakan tante-tante, itu artinya saya menertawakan diri saya sendiri.
Kalo aku sekarang malah jadi uwa karna adikku dah punya anak hehe
BalasHapusBener si, kadang kalau ada perempuan dandan menor pasti langsung kepikiran "nanti kaya tante-tante". Jadi penasaran asal-usulnya kok bisa gitu ya.
BalasHapus