Gak Mau Makan Mie Selain Indomie

Judul saya tidak mengada-ada. Beneran ada kejadiannya.

Jadi, ada seorang tetangga saya, sebut saja Mawar, yang sangat fanatik terhadap mie instan merk Indomie. Saking fanatiknya, sampai-sampai, seorang pemilik warung (yang juga tetangga saya), sebut saja Melati, hafal kebiasaan si Mawar. 

Konon katanya, ketika datang ke warung Melati, Mawar langsung to the point, menanyakan keberadaan Indomie. Dan, jika Melati menjawab tidak ada (karena stock Indomie habis), Mawar rela pulang dengan tangan kosong. Mawar tidak mau membeli mie instan selain Indomie. 

*** 
Kita tentunya sudah tidak asing dengan cerita di atas. Di kehidupan nyata, orang seperti Mawar itu ada banyak. Tidak hanya Mawar tetangga saya, tetapi juga ada Mawar-mawar yang lain. Bahkan, bisa jadi, kita termasuk Mawar. 

Kalau kita analisis, sebenarnya, apa sih yang dipikirkan oleh Mawar?

Mawar adalah tipikal orang yang maniak terhadap merk tertentu. Maniak ini sudah bukan hanya setia, ya. Tapi, sampai pada level terobsesi. Obsesi yang dibiarkan terus-menerus ini menyebabkan Mawar hanya mempercayai mie Instan merk Indomie. 

Ibaratnya, Mawar tidak memberikan kesempatan pada mie instan merk lain. Baginya, mending gak usah makan mie kalau bukan Indomie. Kecuali, kalau lagi ada bencana alam, terus bahan makanan susah diperoleh, terus makanan satu-satunya yang tersedia hanyalah mie instan tapi merknya bukan Indomie. Nah, karena sudah menyangkut hidup dan mati, maksudnya, kalau gak makan mie instan itu bakalan mati, ya, barulah si Mawar mau memakan mie instan tersebut.

*** 
Lalu, kenapa sih, seseorang bisa maniak banget terhadap merk tertentu?

Karena dia sudah sangat percaya terhadap merk itu. Bisa jadi, dia sudah menggunakan produk itu dalam waktu lama. Dan, produk itu memenuhi kriteria ideal menurut dia. 

Kemudian, produk itu memiliki quality control yang bagus. Jadi, produk itu punya kualitas yang stabil. Atau, dengan kata lain, kemungkinan tingkat kegagalannya sangat kecil.

*** 
Menurut saya, kita sebagai manusia itu pasti pernah berusaha membuka hati untuk merk lain. Tapi masalahnya, apakah merk lain itu berhasil memenuhi ekspektasi kita? 

Kalau iya, bisa jadi, kita akan berganti dari merk lama (yang selama ini sudah  kita percayai) ke merk baru (yang baru kita coba dan ternyata cocok). Terutama, kalau harga merk baru lebih murah dari harga merk lama, dan kualitasnya hampir sama. 

Namun, jika tidak sesuai ekspektasi, ya, kita akan kembali pada merk lama, tanpa pernah mau mencoba merk baru itu lagi.

*** 
Kita tidak hanya fanatik dengan merk makanan, tetapi juga merk pakaian tertentu. 

Biasanya, pakaian tersebut akan menjadi pakaian kesayangan. Maka, sudah tidak mengherankan lagi jika kita pernah melihat ada orang yang pakai baju itu-itu saja. 

Ini banyak terjadi di kaum perempuan. Biasanya, perempuan punya banyak baju, sampai-sampai  memenuhi lemarinya. Tapi, baju yang dipakai ya itu lagi, itu lagi, bisa dihitung jari. 

Kalau dalam bahasa Jawa, baju yang dipakai terus ini namanya mbah-ring-nggo (dikumbah, garing, dinggo), yang artinya adalah dicuci, kering, dipakai lagi. Kalau ditanya apa alasannya, mayoritas akan menjawab, "Ya gimana lagi, bajuku yang itu nyaman banget dipakai."

*** 
Kenyamanan. Itulah kata kuncinya. Kalau ngomongin masalah kenyamanan, tentu ini juga berlaku pada manusia.

Kita tidak hanya bisa fanatik pada merk makanan atau pakaian, tetapi juga pada manusia. 

Banyak dari kita yang nge-fans pada public figure. Sebagai fans fanatik, kita cenderung mengikuti sosial medianya. Kita juga akan memelototi setiap postingan dan caption-nya. 

Bahkan, kita penasaran, tas merk apa yang dia pakai, atau di mana dia membeli makanan yang terlihat enak itu. Dan tanpa pikir panjang, kita akan mengikutinya. Dengan mengikuti kebiasaan si public figure, kita merasa lebih dekat dengannya.

***
Fanatisme terhadap manusia tidak hanya berkutat pada public figure, tetapi juga pada orang terdekat. Ketika masih anak-anak, mungkin, kita pernah melakukan hal ini. Misal, kita hanya mau diantar ke sekolah oleh ayah kita. Atau, kita cuma mau digendong oleh ibu kita. Jika keinginan kita itu tidak dituruti, kita bakalan nangis guling-guling. 

Saya pernah membuat drama heboh seputar hal ini. 

Waktu itu, saya lagi mau daftar di sebuah SMA. Untuk urusan sekolah, mulai dari daftar sekolah, ambil rapor, sampai pengumuman kelulusan, ibu saya yang selalu mengurusnya. Jadi, saya sangat mempercayai ibu. 

Dan tentu, saya sangat berharap, ibu bakalan mengantar saya daftar SMA. Namun, bersamaan dengan hari-H pendaftaran SMA, kebetulan ibu lagi ada keperluan lain yang lebih mendesak. Jadi, mau tidak mau, saya harus diantar orang lain. 

Gara-gara ini, saya memohon-mohon pada ibu agar beliau minta izin dari keperluannya dan mengantarkan saya daftar SMA saja. Tapi, ibu tidak menuruti keinginan saya. Jadilah saya nangis-nangis (baca: pura-pura nangis), agar ibu luluh. 

Tapi, sepertinya saya kurang jago acting. Ratapan saya kurang meyakinkan. Jadi, ibu tetap tidak ambil pusing. Dan, akhirnya, saya diantar orang lain untuk daftar SMA.

*** 
Fenomena maniak terhadap merk atau orang tertentu itu bagaikan 2 sisi mata uang. 

Ada kalanya, hal itu sangat bermanfaat bagi kehidupan kita sehari-hari. Misal, kita bisa tampil dengan percaya diri karena memakai baju merk tertentu. 

Namun, di sisi lain, fanatisme juga menyebabkan kita kurang realistis. Kita jadi terlalu menggantungkan diri pada satu merk atau satu orang yang kita percayai. Akibatnya, kita jadi sulit menerima kenyataan. 

Contohnya dalam pengalaman saya tadi. Saya terlalu memaksakan kehendak. Padahal, dalam hidup ini, tidak semuanya tentang saya. Sekali lagi, tidak melulu tentang saya. 

Masih ada orang lain yang juga punya kepentingan. Dan, ada kalanya, kepentingan orang lain itu berbenturan dengan kepentingan saya. Pada akhirnya, tinggal diuji, kepentingan siapa yang lebih kuat. 

Dalam pengalaman saya tadi, kepentingan ibu saya lebih kuat. Sehingga, mau tidak mau, suka tidak suka, saya harus menerima kenyataan bahwa ibu saya tidak bisa mengantar saya daftar SMA. Kenyataan yang waktu itu terasa pahit. Tapi, kalau saya ingat-ingat lagi sekarang, saya ingin memarahi diri saya yang dulu dengan perkataan, "Biasa aja keleus."

Biasa aja keleus. Itulah kata-kata yang diucapkan oleh orang-orang ketika melihat betapa konyol dan lebay dirinya yang dulu.

Kalau kita sudah bisa bilang, "Biasa aja keleus," pada diri kita yang dulu, artinya, sekarang kita sudah lebih tenang dalam menghadapi masalah serupa.

*** 
Mungkin, kita perlu sedikit menurunkan kadar fanatisme, menjadi preferensi. Preferensi adalah prioritas. Maksudnya, kita tidak memaksakan keadaan harus 100% sesuai dengan keinginan. 

Dengan preferensi, kita bisa lebih fleksibel dalam mengambil keputusan. Kita punya pilihan 1, 2, dan seterusnya. Kalau pilihan 1 tersedia, ya, syukur, kalau enggak juga gak apa-apa. 

Dalam memilih mie instan, saya juga begini. Kalau ada Indomie, ya, syukur, kalau enggak juga gak apa-apa. Makan mie instan merk lain tidak jadi masalah.

Komentar

  1. Kalo aku si urusan maem gak ada istilah fanatisme, cuma ada yang aku gak suka cuma satu yaitu oseng atau jangan atau apa ya bahasanya seperti jangan tempe yang di kasih Laos itu aku paling gak suka, bukan karna gak suka laosnya, kalo misal laosnya di taruh di sayur asem aku malah suka karna jadi enak tapi kalo jangan tempe di kasih Laos jadi enaknya ilang pas lagi makan laosnya haha
    Selain itu semuanya suka asal gak beracun, bahkan aku pernah di pesantren makan cuma pake pisang yang masih mudah terus pake uyah ya enak, minum juga pake air pam langsung tanpa di rebus ya enjoy aja hehe

    BalasHapus
  2. Nah iya kak terkadang kalo membuka hati kemerek lain agak susah. Tapi gimana lagi sudah nyaman heheh dan juga merk tersebut sudah memenuhi ekspetasi kita. Jadi ya setia deh wkkwkw .Tapi jika belum terpenuhi ekspetasinya maka terus lanjut cobain emrk lain hahahh

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Susah Konsentrasi Selama Pandemi

Diam itu (Belum Tentu) Emas?

Ibu Saya adalah Orang yang Beruntung dalam Hal…