Postingan

Menampilkan postingan dengan label Pengalaman

Tentang Nama Panggilan

Sebagaimana kita ketahui, bahwa ada orang yang nama panggilannya adalah nama depan. Misal, nama lengkapnya Wiwik Sulastri, nama panggilannya Wiwik.  Ada juga yang nama panggilannya adalah nama tengah atau nama belakang. Misal, nama lengkapnya Vita Wulandari, nama panggilannya Wulan.  Ada pula nama panggilan yang tercipta karena cadel sewaktu kecil, dan akhirnya keterusan sampai dewasa. Misal, nama lengkapnya Alisa Cahya. Sebenarnya, orang tua si Alisa Cahya ini sudah menyiapkan nama panggilan untuknya, yaitu Cahya. Tapi, karena waktu kecil si Cahya masih cadel, belum bisa ngomong Cahya, bisanya ngomong Aya, jadilah hingga dewasa nama panggilannya adalah Aya.   Kasus seperti Aya ini menurutku masih mending. Setidaknya, Alisa Cahya masih mengandung unsur "Aya".  Eh, tapi ada juga yang nama panggilannya sama sekali gak ada di nama lengkapnya. Misal, nama lengkapnya Yaumil Husna, nama panggilannya Sasa. Itu "Sasa" dari mananya, cobak? Yaumil Husna kan gak ada unsur Sasa

Pengalaman Rebutan Paling Berkesan

Berbicara mengenai rebutan, aku adalah orang yang sering kalah dalam hal rebutan. Entah karena orang-orang yang pada gercep atau aku aja yang terlalu lemot. Kalau menyangkut rebutan, aku angkat tangan.  Tapi, mau tidak mau, suka tidak suka, dalam hidup ini, kita akan sering berhadapan dengan yang namanya rebutan. Ada kalanya, kita harus ikut rebutan, untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan.  So, di sini aku mau curhat mengenai beberapa pengalaman rebutan yang...waktu menjalaninya sih sebel, tapi kalau dipikir-pikir, lucu juga:   1. Rebutan tempat duduk waktu ulangan harian zaman SMA.  Entah, ini hanya berlaku di SMA-ku atau berlaku juga di SMA lain. Jadi, di SMA-ku (lebih tepatnya kelasku) dulu, ada semacam peraturan tidak tertulis bahwa tempat duduk ter-ideal saat mengikuti ulangan harian adalah tempat duduk belakang.  Sementara itu, barang siapa yang waktu ulangan dapet tempat duduk depan, dianggap kena kutukan, hahaha. Alasannya? Simpel. Kalau duduk di belakang kan (harapannya)

Awet

Aku adalah pecinta barang awet. Barang di sini artinya luas ya, bisa HP, laptop, motor, dll.  Rasanya puas aja kalau melihat barang yang sudah kugunakan selama sekian tahun masih layak, bahkan masih bagus.  Bukankah yang lebih menyenangkan itu kalau punya barang baru?  Betul, punya barang baru memang menyenangkan. Tapi, aku pribadi lebih puas dengan barang yang awet. Punya barang awet itu sensasinya beda. Rasanya, aku seperti sudah mencecap hingga sari-sarinya. Hingga tetes terakhir.   Kesukaanku akan barang awet sepertinya nurun dari ibu. Ibuku itu ya, kalau punya barang, diawet-awet banget. Ibu selalu merawat barangnya dengan telaten dan sepenuh hati. Hampir setiap malam, ibuku mengelap lalu menyemir tas kulitnya. Dan, ibu kalau nyemir tas, gak ada satu centi pun bagian tas yang terlewat. Alhasil tas kulit ibu selalu mengkilat dan awet hingga belasan tahun.  Begitu pula kalau ada barangnya yang rusak, ibu akan berusaha sekuat tenaga supaya barang itu tetap bisa digunakan.  Pernah sua

Setahun Pakai Pembalut Kain

Awalnya, saya tidak pernah kepikiran untuk memakai pembalut kain a.k.a menstrual pad . Saya pun menjalani hari-hari menstruasi dengan pembalut sekali pakai.  Sampai suatu ketika...  Saya melihat kakak ipar sedang memakaikan bayinya popok kain. Kakak ipar mengatakan bahwa memakaikan bayinya popok kain adalah salah satu cara mengurangi sampah.  "Setidaknya, dengan menggunakan popok kain yang bisa dicuci dan dipakai lagi, itu tidak menyumbang bertumpuk-tumpuk sampah popok setiap hari," begitu katanya.   Kejadian itu menginspirasi saya.  Kalau bayi bisa berperan menjaga lingkungan dengan cara memakai popok kain, kalau saya dengan memakai pembalut kain. Begitu pikir saya.  Maka, saya pun segera membeli pembalut kain di sebuah online shop .  ***  Tak terasa, terhitung, bulan Juli tahun 2021 ini sudah satu tahun lamanya saya memakai pembalut kain.  Sejauh ini ada beberapa hal yang saya rasakan. Ada poin plus dan minusnya.  Poin plus-nya:  1. Gak perlu khawatir kehabisan stok pemb

5 Duka Penglaju Sepeda Motor

Kalau biasanya orang-orang menceritakan "anak kos", kali ini saya mau menceritakan kebalikannya, yaitu "anak nglaju". Eh, tapi kok kalau saya nyebut "anak nglaju" jadi terdengar aneh, ya? Baiklah, saya sebut "penglaju" aja.  Penglaju itu apa, sih?  Penglaju adalah orang-orang yang melakukan perjalanan pulang-pergi dari rumah menuju ke tempat tujuan (kantor, sekolah, kampus, dsb) setiap hari. Biasanya, jarak antara rumah hingga tempat tujuan itu cukup jauh, bisa belasan hingga puluhan kilometer.  Saat kuliah dulu, saya adalah mahasiswa penglaju sepeda motor. Setiap hari, saya menempuh total jarak 40 km menggunakan sepeda motor. So, saya sudah merasakan asam garam per-nglaju-an. Seperti yang terpampang di judul, saya tidak akan menceritakan suka-duka, tetapi hanya dukanya saja.  Apa sajakah itu? 1. Berangkat Kesiangan yang Berujung Disemprit Polisi.  Sebenarnya, saya sudah tahu, kalau amannya berangkat dari rumah maksimal jam 06.15 untuk kuliah pag

Bisa Makan Cepat Adalah Privilege

"Kamu tuh makan atau ngemut, sih? Kok lama banget." Kata seorang teman di lokasi KKN dulu. Ya, dari dulu, satu hal yang jadi problem saya, yaitu gak bisa makan dengan cepat. Terutama kalau pagi hari, dengan udara yang masih dingin, entah kenapa membuat saya agak kesulitan menelan makanan.  Apa lagi kalau nasinya lembek. Ketika nasinya baru saya kunyah, lalu perlahan-lahan hendak saya telan, itu rasanya mual. Sehingga, nasi tersebut termuntahkan begitu saja.  Kalau sudah begini, saya hanya bisa diam. Diberi jeda. Setidaknya, 5 menit kemudian, baru bisa memasukkan makanan ke dalam mulut lagi. Itu pun, ngunyah dan nelannya harus slow motion . Kalau enggak, ya, muntah lagi. Akibatnya, durasi makan saya gak bisa cepat. Hal ini menyebabkan orang-orang yang melihat jadi geregetan.   "Kalau makan tuh yang cepet. Keburu rasanya berubah." Kata ibu saya.  Lha, bayangkan saja, saya yang lebih dulu makan, tapi selesainya belakangan. Sementara ibu saya yang mulai makan lebih akh

Merindukan Kesederhanaan

Kemarin, saya mengganti template blog. Nama template blog yang sekarang saya pakai ini adalah Essential. Template ini bawaan dari Blogger.  Alasan saya memilih template bawaan Blogger adalah saya merindukan kesederhanaan. Saya rindu dengan template blog yang sederhana.  Sebenarnya, template lama saya juga sudah sederhana, kok. Tapi, masih kurang sederhana. Masih ada ornamen hiasan yang kurang perlu. Warnanya juga terlalu unyu dan girly .

Cinta yang Sudah Luntur

Sudah satu bulan ini saya sering blog walking . Lebih sering menjadi silent reader dibanding meninggalkan komentar. Salah satunya adalah blog Pak Anton . Tadi malam, saya menjelajahinya dari halaman depan hingga belakang. Sampailah saya pada satu judul yang menggelitik, yakni mengenai Cinta Pak Anton yang Sudah Luntur pada Buku . Membaca tulisan tersebut membuat saya terhenyak, merasa related dengan tulisan itu. Di usia 23 tahun ini, cinta saya juga sudah luntur. Bukan pada buku, sih. Tapi pada beberapa hal, yaitu: Pertama, make up . Dulu, di tahun 2016 hingga 2018, saya kecanduan video tutorial make up . Ketika itu, dalam satu hari, saya menonton 30 hingga 35 video. Saya sampai hafal nama-nama beauty vlogger . Video seperti Tutorial Make Up untuk Pemula, Tutorial Make Up Natural untuk Remaja, dan 200k Make Up Challenge sudah saya lahap semua. Saat itu, saya menjadi orang yang sangat pemikir dalam hal make up . Saya tidak bisa keluar rumah jika belum pakai bedak dan pens

Digital Minimalism

Gambar
Satu bulan lalu, saya menghapus akun Facebook, Twitter, Line, Pinterest, Researchgate, Linkedin, Medium, dan Wattpad secara permanen. Saya juga uninstall aplikasinya di handphone . Sebenarnya, sudah sejak lama saya ingin melakukan ini. Tapi, masih maju mundur. Dan, baru satu bulan yang lalu itulah saya mantap melakukannya, tanpa keraguan dan kekhawatiran. Satu bulan lalu, saya merasa sudah tidak ada lagi hal yang mau saya lakukan di platform-platform tersebut. Saya juga merasa tidak ada lagi sesuatu yang saya dapatkan dari sana. Dengan kata lain, urusan saya dengan platform-platform tersebut sudah selesai. Dan, jadilah kini di ponsel saya hanya ada aplikasi WhatsApp dan Telegram untuk sosial medianya. Lantas, di zaman modern ini, kenapa sih, saya malah memilih sedikit "menyingkir" dari gegap gempita dunia digital? Pertama, saya melakukan ini karena terinspirasi dari seorang profesor bernama Cal Newport yang membuat campaign "Digital Minimalism".

Kecanduan Nonton YouTube

Istilah “detoks sosial media”, sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sosial media yang dimaksud adalah Facebook, Twitter, Line, dan Instagram. Banyak orang yang mengatakan, alasan mereka detoks sosial media adalah karena di sosial media, ada banyak hal toksik, banyak orang pamer, dan lain sebagainya, yang menyebabkan mereka insecure . Saya pun sependapat dengan mereka. Ya, sudah beberapa minggu belakangan, saya melakukan detoks sosial media. Masih menggunakan, tapi sangat saya kurangi durasi pemakaiannya. Tapi, bagaimana dengan istilah “detoks YouTube”? Banyak orang yang sudah menyadari dirinya kecanduan sosial media. Dan untuk itu, mereka melakukan detoks sosial media. Tapi, belum banyak orang menyadari bahwa dirinya kecanduan YouTube. Berdasarkan pengamatan saya, sebagian besar orang yang detoks sosial media itu larinya ke YouTube. Jika dulunya dalam sehari scroll Instagram 2 jam dan nonton YouTube 2 jam, sekarang, scroll Instagam cuma setengah jam sih, tapi, nonton You

Sang Ahli Stalking yang Ingin Insaf

Stalking atau kepo terhadap kehidupan orang lain itu awalnya terasa menyenangkan.   Jujur saja, dulu ketika masih sekolah atau kuliah, aku sering stalking teman-temanku yang hitz atau populer atau primadona. Mereka adalah orang-orang yang selalu menarik perhatian. Biasanya, untuk tahap awal, aku search di Google, lalu munculah nama sosial media mereka, mulai dari Instagram, Facebook, Twitter, AskFm, hingga LinkedIn. Kemudian, aku telusuri satu per satu foto, video, dan status mereka. Benar-benar kupelototi semua. Dengan mengubek-ubek itu semua, mulanya, aku bangga. Seolah-olah, wawasanku bertambah. Juga, seakan-akan, aku adalah detektif yang bisa mengungkap suatu rahasia. Tapi… Seiring berjalannya waktu, ada rasa tidak nyaman yang menyelimutiku setelah sesi stalking usai: Pertama, aku menyesal sudah membuang-buang waktu berjam-jam —yang sebetulnya bisa kugunakan untuk hal lain yang lebih berfaedah. Kedua, aku jadi tahu sisi gelap, kekurangan, dan kesalahan seseorang d

Meng-kudet-kan Diri

Warning Alert! Tulisan ini murni pendapat pribadi. Tidak ada maksud menyudutkan pihak mana pun. Seperti yang kita tahu, kata “viral” itu sudah ada dari dulu, tapi baru banyak dipakai sekitar empat tahun belakangan. Berita viral ada di mana-mana, seperti Line Today, YouTube, Instagram, hingga platform khusus media online seperti Babe dan sejenisnya. Judul berita viral selalu diawali dengan kata “Viral”, “Menyedihkan”, “Geger”, dan diakhiri dengan 3 buah tanda seru di belakangnya. Berita viral terus bergulir. Mulai dari “Om Tetolet Om”, “Makan Daging Anjing dengan Sayur Kol“, “Keke Bukan Boneka”, hingga “Odading”. Beberapa hari belakangan, aku sengaja menutup mata dari berita viral. Berita viral terakhir yang kutahu Cuma “Semongko Sis”. Aku tidak tahu sekarang ada berita viral apa lagi. Aku sudah terlalu jenuh dengan semua kegaduhan itu. Aku ingin hidup tenang. Sebab, aku adalah pecinta suasana sunyi, baik di dunia nyata maupun dunia maya. *** Jadi, ketika video yang sekiran

Menjadi Seorang Tante

“Ih, kayak tante-tante,” adalah kalimat yang sering diucapkan orang untuk menggambarkan remaja perempuan yang dandan menor. Kenapa dandan menor diidentikkan dengan tante-tante? Padahal, tidak semua tante menor, lho. Tante itu menor , sebenarnya hanyalah stereotip dan generalisasi belaka. Artinya, kita menganggap, semua tante begitu. Hal ini juga pernah saya lakukan. Ketika masih kecil, jika mendengar kata “tante”, maka yang terbayang di benak saya adalah perempuan yang sudah agak berumur, suka bergosip, suka nyinyir, dan ber- make up tebal. Sampai suatu ketika, saya menjadi tante,  di usia 21 tahun. Ini terjadi setahun lalu, tepatnya saat keponakan pertama saya, alias anak dari kakak saya, lahir di dunia. Selama keponakan saya itu masih di dalam kandungan ibunya, saya sering bertanya-tanya. Mulai dari pertanyaan standar seperti, “Muka dia mirip siapa, ya? Jenis kelaminnya apa, ya?” Hingga pertanyaan nyeleneh seperti, “Kalau aku besok jadi tante, rasanya gimana, ya?” Gimana rasanya

Mengambil Seragam Olahraga Berujung Celaka

Ketika masih sekolah, kita sering dihadapkan pada kekhawatiran. Misal, khawatir karena belum mengerjakan PR, khawatir kalau ditunjuk guru untuk mengerjakan soal matematika di depan kelas, khawatir karena lupa bawa topi saat ada upacara bendera, khawatir karena akan ada ulangan, hingga khawatir karena seragam olahraga ketinggalan.  Kalau kita yang sudah dewasa ini melihat itu semua, kita akan mikir, "Alah, gitu doang kok dipikirin." Tapi jangan salah. Bagi anak SD, ketakutan yang timbul karena lupa tidak bawa LKS suatu mata pelajaran misalnya, itu tidak dibuat-buat, lho. ***  Saya ingat, waktu SD pernah berbuat konyol hanya gara-gara lupa bawa seragam olahraga.  Jadi, suatu hari, saya lupa bawa seragam olahraga, padahal ada jadwal pelajarannya sebentar lagi. Saya langsung panik. Dan, yang terlintas di benak saya adalah, saya harus segera mengambil seragam olahraga di rumah. Sebab, saya takut dihukum oleh guru karena tidak pakai seragam olahraga saat jam pelajaran olahraga berl

Pintar Olahraga adalah Privilege

Sebagian besar murid, mungkin, tidak menyukai mata pelajaran matematika. Tidak dengan saya. Sepanjang sekolah, dari SD hingga SMA, pelajaran yang saya benci adalah olahraga. Mungkin hal ini terkesan aneh. Pasalnya, olahraga identik dengan pelajaran santai dan main-main, yang semua orang sepertinya bisa mengikuti. Tapi, tunggu dulu, benarkah demikian? Kenyataannya, tidak. Pelajaran olahraga tidak semudah itu. Saya sangat kesulitan mengikuti pelajaran olahraga. Khususnya, olahraga yang berhubungan dengan bola, baik itu sepak bola, futsal, voli, basket, bahkan kasti. Entah kenapa, saya tidak punya ketertarikan dengan bola. Apa saja peraturannya, istilah yang digunakan, hingga nama-nama klubnya, tidak saya ketahui sedikit pun. Kalau orang lain, ketika main bola, berusaha mengejar bola itu, saya malah sebaliknya, ketika ada bola mendekat, justru saya menghindar. Jadi, saya cukup pusing ketika pelajaran olahraga di SMA mensyaratkan jumlah minimal dribel, servis, dan lain-lain, dalam satu

Ilusi VS Kenyataan

Apa yang terlintas di benak kita saat sedang membuka YouTube, tiba-tiba muncul di beranda, “Cara Mudah Membuat Blablabla” ditambah gambar thumbnail yang menarik, judul yang waw , serta jumlah viewer yang banyak? Hampir dipastikan, kita akan meng-klik video tersebut. Walau pada awalnya kita tidak berminat dengan objek bahasannya, tapi karena ada kata “mudah”, “gampang”, “cepat”, “praktis”, dan “dijamin langsung bisa”, pertahanan kita goyah juga. Kita jadi tertarik nonton. Kita memang menyukai kemudahan. Kalau bisa, usaha minimal mendatangkan hasil maksimal. Termasuk video bombastis itu. Melihatnya lewat sekelebatan, kita jadi berfantasi bahwa melakukan apa yang ada di dalam video itu benar-benar mudah dan hasilnya langsung bagus. Namun, benarkah semudah itu? Kenyataannya, tidak. *** Saya pernah beberapa kali mengalaminya. Beberapa bulan lalu, video “Tutorial Mudah Membuat Pie Susu” nongol di beranda YouTube saya. Tanpa pikir panjang, saya langsung menontonnya. Alatnya cuma